Selasa, 24 Januari 2012

Kerajaan Meliau

Sejarah Kerajaan Meliau



Raja pertama kerajaan Meliau adalah Pangeran Mancar, putra ketiga Brawijaya dari kerajaan Majapahit. Bersama dengan saudara-saudaranya, Pangeran Mancar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan menuju daerah pedalaman Kalimantan.

Di daerah Meliau, keturunan Jawa ini kemudian melindungi wilayahnya dengan jimat berupa gumpalan tanah dari tungku dapur menanak nasi raja Tanjungpura agar aman dari serangan suku Dayak. (kenapa suku dayak bsa menyerang kerajaan tsb? saya rasa disini perlu di garis bawahi, bukankah sebaliknya mereka yang mengaMbil alih tanah orang dayak dan melakukan hal2 yg membuat orang dayak MENYINGKIR HINGGA KE PEDALAMAN2!!!!. Tanah tersebut diambil oleh Rangga Macan yang menghadap raja Tanjungpura memohon perlindungan. Hingga kini tanah tersebut tersimpan di daerah Meranggau.

Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam wester-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[2]

Pada 1866, Pangeran Adipati Mangku Negara, panembahan kerajaan Meliau mengundurkan diri. Atas bantuan Belanda, putra mahkota yang pergi merantau tanpa diketahui keberadaannya, diketemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Ia telah memeluk agama Kristen dan menjadi pedagang. Atas bujukan Belanda, putra mahkota kembali ke Meliau pada 1869 dan dinobatkan sebagai raja dengan gelar Ratu Anum Paku Negara. Ratu Anum Paku Negara kemudian kembali ke agama Islam serta mendirikan keraton dan pendopo dari kayu dengan arsitektur yang indah di zamannya.

Ratu Anum Paku Negara wafat pada 1885. Putra tunggalnya, Abdul Salam pada waktu itu menjabat sebagai jaksa di Betawi. Abdul Salam kemudian diangkat menggantikan ayahnya dengan gelar Pangeran Ratu Muda Paku Negara. Pada 2 Agustus 1889, karena kurang puas dengan penghasilannya Pangeran Ratu Muda Paku Negara meninggalkan tahta kerajaan dan kembali ke Betawi. Tahun 1897, ia wafat tanpa meninggalkan keturunan.

Dengan beslit nomor 23 tanggal 15 Januari 1890, Gusti Mohamad Ali dari kerajaan Tayan kemudian menggabungkan kerajaan Meliau ke kerajaannya yang berlaku efektif pada 26 Februari 1890. Pada masa pemerintahan panembahan kerajaan Tayan berikutnya, Panembahan Anum Paku Negara, kerajaan Meliau dijadikan Gouvernement Gebied di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.


PANGSUMA tokoh pahlawan dari Meliau

Nama Pangsuma merupakan nama besar di Kabupaten Sanggau, menjadi sebuah goresan sejarah karena Pangsuma merupakan tokoh pahlawan. Meski demikian, nama ini ternyata terdengar asing di telinga masyarakat Kabupaten Sanggau, padahal Pangsuma cukup tenar dan terkenal di Kota Pontianak.

Di Kota Pontianak sendiri, nama Pangsuma menjadi populer karena menjadi icon dan terpampang besar sebagai nama tempat atau gedung olah raga atau sering disebut GOR Pangsuma.

Kegigihan seorang Pang Suma melawan tentara Jepang pada tahun 1945 telah membakar semangat masyarakat Kalbar yang lain ketika itu untuk mengusir penjajahan Jepang.
Informasi kematian salah satu pejuang Kalbar dan Panglima Perang ini, tidak menyurutkan para anggota Perang Majang (pasukan pimpinan Pang Suma) saat itu untuk melanjutkan perjuangan.
Mereka justru bergelora untuk mengusir Jepang dari Bumi Kalimantan Barat. Seperti di Ngabang yang dipimpin Panglima Batu, di Sanggau oleh Panglima Burung serta di Ketapang oleh Panglima Banjing dan Pang Layang.

"Mereka lakukan agar Jepang mengakhiri kekejamannya dan pergi dari Kalbar," tutur Peneliti Sejarah pada Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Kalbar, Dra. Juniar Purba.
Pang Suma adalah tokoh pejuang dari suku Dayak yang tinggal di Dusun Nek Bindang di tepian Sungai Kapuas Desa Baru Lombak Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau.

Anak ke-3 dari 6 bersaudara ini memiliki nama asli Bendera bin Dulung. Namun ada pula yang menyebutnya Menera. Arti nama Pang Suma sendiri adalah Bapak si Suma. Panggilan dengan mengguakan Pang merupakan satu kebiasaan penduduk setempat memanggil nama orang tua dengan menyebut nama anaknya yag paling besar. Ini dikarenakan agar lebih sopan daan hormat dari pada menyebut nama langsung orang tersebut.

Menjelang akhir hayatnya, ia telah mendapatkan pertanda buruk. Ujung Nyabur (pedang) yang dimilikinya patah, sebelum ia menyerbu markas Jepang di Kantor Gunco (Camat) Meliau pada 17 Juli 1945.
Pertanda itu pun menjadi kenyataan. Sebuah peluru menembus pahanya yang konon merupakan rahasia kekuatan dari Panglima Perang ini. Namun, disaat menahan kesakitan itu, ia sempat berpesan kepada rekan seperjuangannya yang membopongnya dari lokasi perang.
"Tinggal aja aku disito uda nada aku to idop lagi, pogilah kita, maju terus berjuang," pesan Pang Suma dalam bahasa Dayak seperti yang dikutip dari "Pangsuma Riwayat Hidup dan Pengabdiannya" yang artinya tinggalkan saja saya di sini saya tidak bisa hidup lagi pergilah kamu maju terus berjuang.

Perjuangannya adalah pengorbanan yang patut dijadikan berikan apresiasi bagi masyarakat Kalbar dan pemerintah meskipun dia dan keluarganya tidak mengharapkan imbalan apapun.
Namun, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa dan pengorbanan pahlawannya. Sehingga tentunya patut diberikan. Dan generasi mendatang wajib mencontoh dan mengambil hikmah yang telah dikorbankan Pang Suma dalam membela bangsa dan tanah air.